Rabu, 19 November 2008

BAIAT Dalam Tinjauan Syar’i

BAIAT Dalam Tinjauan Syar’i

I. Pengantar

Segala puji hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Rabb semesta alam. Dialah yang telah menciptakan hamba-hambanya untuk beribadah kepadanya, beramal karena mengharap ridha dan ke-ikhlasan dari-Nya. Kepada-Nyalah kita menyembah, meminta pertolongan. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad j, keluarga, shahabat, dan para pengikutnya yang setia hingga datangnya hari Kiamat.

Ketika Allah hendak menyempurnakan urusan-Nya denga menolong din-Nya, maka ditakdirkan enam orang penduduk Madinah mendatangi Nabi j. Beliau bertemu dengan mereka di Aqabah. Rasulullah j menawarkan Islam kepada mereka, dengan senang hati mereka menerima dan bersegera masuk Islam. Mereka menjadi tahu, bahwa beliaulah seorang Nabi yang pernah dikatakan oleh orang-orang Yahudi. Merekapun kembali ke Madinah dan menyebut-nyebut tentang beliau serta menyebarkannya di rumah-rumah penduduk Madinah. Inilah awal mula ke-Islaman orang-orang Anshar Madinah--sebagaimana disebutkan oleh ahli sejarah--.

Pada tahun berikutnya, sebanyak dua kali lipat atau dua belas orang laki-laki menyatakan masuk Islam. Rasulullah membaiat mereka agar tidak menyekutukan sesuatupun dengan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membuat kedustaan yang mereka ada-adakan dengan tangan dan kaki mereka, serta tidak durhaka dalam urusan yang baik. Isi baiat ini pula yang dibaiatkan oleh Rasulullah kepada sejumlah kaum wanita sesudah itu.

Rasulullah mengutus Mush’ab bin Umair menyertai orang-orang yang telah berbaiat untuk mengajarkan din kepada mereka, membaca al-qur’an dan mengimami shalat. Beliau memilih Mush’ab karena mengetahui betul kepribadiannya di satu sisi, dan di sisi lain dia tentu bisa menyesuaikan kehidupan di Madinah. Sebab, disamping dia hapal ayat-ayat al-qur’an yang sudah diturunkan, dia juga memiliki keluwesan, ketenangan, kebaikan budi dan sikap bijaksana yang sangat tinggi, disamping kekuatan iman dan semangat dinnya yang dimilikinya. Maka selama beberapa bulan dia bisa menyebarkan dinul Islam di beberapa keluarga Madinah dan mencari penolng bagi Islam dari kalangan pemimpin Madinah, seperti; Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Khudhair. Berkat keduanya telah masuk Islam, banyak pula orang-orang dari kaumnya yang masuk Islam.

Pada musim haji tahun berikutnya, sejumlah orang yang telah masuk Islam pergi dalam rombongan haji bersama kaumnya. Mereka mengikrarkan janji kepada Rasulullah j dalam pertemuan yang dirahasiakan di tempat jumrah Aqabah. Jumlah mereka lebih dari tujuh puluh orang--tepatnya tujuh puluh orang laki-laki dan dua orang wanita--. Gambaran dalam benak mereka semakin jelas, karena mereka sudah menyadari secara mendasar makna baiat mereka kepada Rasulullah. Perbuatan mereka itu merupakan tantangan terhadap semua bangsa Arab, bahkan semua manusia yang berarti mereka membuka diri untuk maju ke madan perang.

Inilah sedikit gambaran dari baiat Aqabah yang pertama dan kedua, yang dilakukan oleh Rasulullah beserta para sahabatnya. Inti dari baiat Aqabah yang pertama adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan baiat Aqabah yang kedua intinya adalah hijrah dan jihad. Dengan tiga unsur ini; iman, hijrah dan jihad, maka eksistensi Islam benar-benar dapat terwujud dalam suatu komunitas yang kuat.

Hijrah tidak akan berjalan dengan mulus andai kata tidak ada segolongan orang yang siap memberikan perlindungan. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:

(( إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ ءَاوَوْا وَّنَصَرُوا أُوْلَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ وَالَّذِينَ ءَمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَّالَكُم مِّن وَّلاَيَتِهِم مِّن شَيٍْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا وَإِنِ اسْتَنْصُرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلاَّ عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقٌ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ ))

Artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Anfal (8): 72)

وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ ءَاوَوْا وَنَصَرُوا أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَّهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

Artinya, “Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia.” (QS. al-Anfal (8): 74)

(( وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مِن بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُوْلَئِكَ مِنكُمْ وَأُوْلُوا اْلأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللهِ إِنَّ اللهَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ ))

Artinya, “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Anfal (8): 75)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain dari al-qur’an yang menjelaskan maslah ini. Baiat, hijrah dan jihad tidak akan berjalan dengan mulus andaikata orang-orang yang baru beriman itu tidak melepaskan loyalitas kekabilahan dan beralih ke loyalitas syar’i, dan meninggalkan kepemimpinan kesukuan lalu beralih ke kepemimpinan Islam yang satu. Maka dalam isi baiat disebutkan: ad-damm ad-damm, al-hadm al-hadm yang artinya darahku adalah darahmu dan kehormatanku adalah kehormatanmu juga. Inilah yang mendorong orang-orang Anshar menucapkan, “Sesungguhnya antara kami dan mereka (orang-orang Yahuidi) terdapat tali hubungan, dan sekarang telah kami putuskan.”

Baiat ini merupakan prolog terakhir hijrah Nabi dan para sahabatnya ke Madinah. Sesudah itu, orang-orang muhajirin mulai meninggalkan kata Makkah yang pernah mereka lalui pada masa kecilnya.[1]

Dalam makalah ini, saya (penulis) paparkan beberapa bagian dari pembahasan baiat, yaitu;

- Definisi, meliputi pengertian baiat menurut Bahasa dan menurut Istilah.

- Masyru’iyah, pensyari’atan baiat dalam al-Qur’an, sirah Nabi Muhammad j, Khulafa’ ar-Rasyidin Radhiyallahu ‘anhum dan para salaf Rahimahumullah.

- Pembagian baiat, yaitu ada dua macam; Baiat Kubra dan Baiat Sughra berikut kriterian masing-masing dari dua baiat ini.

Inilah yang dapat saya sampaikan untuk mengantarkan pembahasan masalah Baiat. Untuk lebih mengetahui pembahasan masalah Baiat ini, saya persilahkan pembaca sekalian untuk menyimaknya dengan seksama. Semoga Allah memudahkan kita untuk mengkaji dan menelaahnya bersama, Allahumma laa sahla illa maa ja’altahu sahlan wa Anta taj’alu huzna idza syi’ta sahlan. Amiin.

II. Definisi

Secara Bahasa

Baiat secara bahasa memiliki beberapa makna, yang sebenarnya dari masing-masing makna tersebut salaing berkaitan. Diantara makna baiat adalah sebagai berikut;

الْبَيْعَةُ : هِىَ الْمُعاَقَدَةُ وَ الْمُعَاهَدَةُ

1. Bai'ah : perjanjian / sumpah setia.[2]

الْبَيْعَةُ : الصَّفَقَةُ عَلَى اِيْجَابِ الْبَيْعِ وَ عَلَى الْمُبَايَعَةِ وَ الطَّاعَةِ

2. Bai'ah:berjabat tangan atas disepakatinya perjanjian jual beli, atau atas pembaiatan dan ketaatan[3].

3. Baiat adalah ibarat dua orang yang melakukan jual-beli dan masing-masing menyerahkan miliknya dengan ikhlas atas kemauannya sendiri.”[4]

4. Baaya’a as-sulthan (penguasa melakukan baiat), jika baiat yang diberikan kepadanya menjamin kesetiaan rakyat kepadanya. Demikian Imam ar-Raghib al-Ashbahani berkata.[5]

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan, “Orang yang membaiat penguasa telah memberikan kesetiannya dan mengambil pemberian dari orang yang dibaiatnya. Hal ini adalah seperti orang yang menjual barang daganggannya lalu dia menerima pembayarannya. Ketika orang Arab melakukan jual-beli, biasanya mereka saling berjabat tangan demikian pula ketika mereka saling berjanji dengan sumpah. Mereka menamakan perjanjian dengan pemimpin dan jabat tang pada waktu itu dengan baiat.[6]

Secara Syar’i

Adapaun secara istilah baiat juga memiliki beberapa yang juga antara makna satu dengan lainnya salaing berdekatan, diantara makna tersebut adalah;

1. Imam ath-Thabari dan Ibnu Katsir berkata, “Baiat artinya adalah al-Mitsaq (perjanjian).”[7]

2. Imam Ibnu Hazm berkata, “Baiat adalah transaksi (akad), kepemimpinan (imamah), dan kesetiaan.”[8]

3. Imam Ibnu Khladun berkata, “Ketahuilah, bahwa baiat adalah perjanjian atas ketaatan, seolah seorang penjual yang berjanji dan menjamin aman urusan kepemimpinannya. Dipandang dia mampu mengatasi urusan pribadinya dan urusan kaum muslimin. Jika mereka membaiat seorang amir dan mengikat perjanjian kepadanya, menjadikan tangan mereka kepada tangannya sebagai penguat. Hal ini sebagaimana seorang penjual dan pembeli. Baiat berasal dari masdar “baa’a”, ia terjadi dengan berjabatan tangan dan inilah maksud dari hadits dalam baiat Nabi malam ‘aqabah di bawah pohon.”[9]

4. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Pada dasarnya baiatnya seorang imam, yaitu kaum membaiatnya untuk beramal dengan yang haq, menegakkan hudud, beramar ma’ruf dan nahyi mungkar.”[10]

Dari beberapa pemaparan mengenai pengertian baiat secara istilah, pengertian baiat menurut istilah yang kami pilih adalah perjanjian untuk setia dalam kebaikan. Definisi ini adalah lebih umum dan dibandingkan dengan arti baiat sebagai akad kepemimpinan saja. Demikian pernyataan Dr. Yahya Isma’il.[11]

III. Pembagian Baiat

a. Baiat Kubra[12]

Baiat kubra adalah baiat Imam Jama'atul Muslimin (khalifah Islam). Dalam baiat ini terbagi menjadi dua :

1. Bai'at Ahlul Hilli wal 'Aqdi (para ulama', pemimpin dan pembesar kaum).[13]

Seperti bai'at yang terjadi pada Hari Tsaqifah terhadap Abu Bakar D oleh pembesar-pembesar Anshar dan Muhajirin setelah wafatnya Rasulullah j.[14]

Tempat baiat yang pertama adalah di atas mimbar. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa dia mendengar khutbah Umar D terakhir di atas mimbar. Demikian pula yang terjadi sehari setelah meninggalnya Rasulullah j, setelah mengucapkan syhadat, Umar D berkata (sementara Abu bakar tidak berbicara), “Sungguh, saya menginginkan Rasulullah j tetap hidup, sehingga beliau di belakang kami (yaitu Nabi wafat paling akhir). Namun, sungguh Muhammad telah meninggal dan sesungguhnya Allah telah menjadikan cahaya (al-Qur’an) di hadapanmu semua, yang dengannya kamu mendapatkan petunjuk Allah.”

Jika ahlul halli wal aqdi berhimpun untuk memilih seorang pengemban imamah (penguasa), mereka akan memperhatikan segala persyaratan yang berkaitan dengannya. Mereka akan membaiat orang yang terbaik, paling memenuhi syarat, paling ditaati dan mereka tidak menolak membaiatnya.[15]

Imam Ibnu Taimiyah berkata, “Kepemimpinan (imamah) adalah kerajaan dan kekuasaan (mulk, sulthan). Penguasa tidak menjadi seorang penguasa dengan persetujuan satu, dua atau empat orang kecuali jika persetujuan mereka memperoleh persetujuan yang lain untuk menjadikannya sebagai seorang penguasa. seperti halnya Umar D ketika dia menerima wasiat dari Abu Bakar D untuk menjadi khalifah, hal itu hanya terwujud ketika orang-orang membaiatnyadan mematuhinya. Seandainya meraka tidak melakukan amanat Abu Bakar D dan tidak membaiat Umar, niscaya dia tidak menjadi seorang khalifah.”[16]

Pernyataan syaikhul Islam tersebut mampu menghilangkan kebimbangan di kalangan ulama mengenai masalah baiat ahlul halli wal aqdi. Sehubungan dengan itu, sebagian ulama berpendirian bahwa pengukuhan imamah adalah dengan baiat dua orang ahlul halli wal aqdi, dengan alasan bahwa jumlah tersebut adalah jumlah minimal untuk melakukan baiat. Kelompok yang lain menentukan jumlah yang sama dengan saksi menurut ketentuan syara’ yaitu empat orang. Alasan mereka bahwa imamah adalah urusan yang terbesar dan terberat sehingga tidak ada jumlah yang layak selain daripada jumlah yang terbanyak.beberapa ulama ushul menentukan jumlah empat puluh untuk untuk pelaksanaan baiat tersebut karena jumlah tersebut adalah jumlah untuk shanya shalat Jumat menurut madzhab Syafi’i. Dalam hal ini, mereka menyamakan orang yang akan memilih imam kaum muslim dengan orang yang mengikuti imam Jumat.[17]

Dalam kaitan ini, imam al-Juwaini mengemukankan satu pendaat yang jauh dari semua itu dan disetujui oleh Abu Bakar al-Baqillani dan Abu al-Hasan. Menurut dia, imamah iu sah dengan baiat salah seorang dari ahlul halli wal aqdi.

Dr. Yahya Ismail berkata, “Menurut kami pendapat seperti ini bisa diterima jika ia diartikan sebagai baiat salah seorang ahlul halli wal aqdi dan diamnya yang lain atas baiat tersebut.”[18]

Menurut Abu Hamid al-Ghazali, syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum pengukuhan baiat adalah tegaknya kekuasaan, tergeraknya hati umat untuk mengikutinya, dan satunya perbuatan dengan isi hati dalam berbaiat. Seandainya yang membaiat Abu Bakar D hanya Umar D sementara umat Islam secara keseluruhan tidak mau melakukannya, atau mereka terpecah belah dan tidak bisa dibedakan mana kelompok mayoritas dan mana kelompok minoritas, niscaya tidak ada pengukuhan imamah.”[19]

2. Bai'at Ummat

Seperti baiat kaum Muslimin terhadap Abu Bakar D di masjid Nabawi setelah baiat Ahlul Halli wal 'Aqdi diatas.[20]

Imam Ahmad ditanya tentang makna hadits “Barangsiapa mati, sedang dia tidak memiliki imam, maka matinya dalam keadaan jahiliyyah.” Beliau bertanya, “Tahukah kamu, siapakah imam itu,?” Yaitu imam yang telah disepakati oleh kaum muslimin. Mereka semua menyatakan, “Ini imam,” Inilah maknanya.”[21]

Syarat Sah Baiat Kubra[22]

Para ulama menyebutkan beberapa syarat yang wajib ditempuh agar ikatan baiat menjadi sah, diantara syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut;

  1. Terkumpulnya syarat-syarat imamah bagi orang yang dibaiat, jika tidak ada salah satu darinya maka dia tidak berhak untuk dibaiat.
  2. Orang yang membaiat adalah ahlul halli wal aqdi.
  3. Orang yang dibait memenuhi tuntutan dari baiat.
  4. Orang yang dibaiat tidak boleh dari satu.
  5. Isi baiat itu sesuai dengan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, baik perkataan maupun perbuatan.
  6. Orang yang diabaita sempurna kemerdekaannya.
  7. Persaksian pembaiatan, tetapi jumhur tidak mewajibkan persaksian. Karena mewajibkan hal itu harus berdasarkan dalil syar’i, sementara persaksian adalah tidak berdasar dalil syar’i.

Baiat Yang Lebih Dari Satu

Apakah pelaksanaan baiat boleh lebih dari satu orang.?

Umat Islam adalah umat yang satu yang mengemban risalah dan tugas. Mereka tidak akan mampu mengemban risalah tersebut secara sempurna kecuali jika mereka berada di bawah naungan satu sistem pemerintahan dan tuntunan syariat yang satu.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

(( إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ ))

Artinya, “Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Rabbmu, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’ (21): 92)

(( وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونَ ))

Artinya, “Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Rabbmu, maka bertaqwalah kepada-Ku.” (QS. Al-Mukminun (23): 52)

Jika kondisi yang sempurna ini terwujud, niscaya mereka akan memiliki kekuatan yang besar. Mereka akan mampu mengalahkan setiap orang yang hendak memecah belah persatuan mereka.

Rasulullah j bersabda, “Siapapun yang datang kepadamu dengan maksud akan mematahkan tongkat persatuanmu dan akan memacah belah kesatuamu, sedangkan kamu semua sudah sepakat dan bersatu memilih seorang pemimpin, maka bunuhlah orang tersebut.”[23]

Juga sabdanya, “Bila dibaiat dua orang khlaifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.”[24]

Ketika umat Islam terpecah belah dan tenggelam dalam fitnah yang membinasakan, maka itu merupakan akibat dari sikap menganggap gampang masalah baiat dengan memberikannya kepada setiap orang yang menginginkannya. Demikianlah, jelas bahwa ketika banyak pihak yang menuntut baiat maka pada saat itu umat Islam tidak diwajibkan melakukannya.[25] Sebab tujuan utama imamah adalahmempersatukan pendapat jamaah mengenai berbagai masalah yang diperselisihkan. Demikianlah seharusnya keadaan umat Islam. Setiap baiat kedua adalah baiat yang tidak sah sehingga tidak dibenarkan kesetiaan terhadapnya.[26]

Agar baiat tersebut sesuai dengan kriteria ad-din, maka ia harus mencakup tiga hal;

  1. Setiap warga negara Islam berhak menetap di setiap wilayah kekuasaan Islam yang lain dan tidak menganggapnya sebagai negeri asing.
  2. Semua negara Islam adalah satu negeri (tempat tinggal) dengan satu syarat.
  3. Setiap penguasa beserta rakyat yang membaiatnya harus bertindak sebagai pelaksanaan din Islam di setiap penjuru dunia, bukan hanya sebatas wilayahnya. Setiap negara Islam berkewajiban melaksanakan hukum-hukumnya dan mencegah kemungkaran.[27] Hal. 187.

Pembatalan Baiat dan Hukumnya

Aqalla (pembatalan) adalah sesuatu yang kurang, sedikit, dibebaskan, dibawa atau diangkat. Menurut al-Farra’, arti istilah ini kurang berinisiatif/bersemangat untuk bangkit karena sakit atau miskin.” Menurut Ibnui Arabi, “Hal yang jika sudah di atas/akan berkurang atatu jika sudah tinggi akan menusut.”[28]

Pengertian pembatalan menurut bahasa berkisar antara “naik, meningkat, atau bangkit.” Sedangkan pengertian an-naktsu (pelanggaran) adalah melanggar janji atau perjanjian.”[29] Ibnu Manzhur berkata, “kata mencopotnya sama artiya dengan mancabutnya, hanya saja dalam istilah pemecatan terkadang makna “penangguhan atau proses secara perlahan.”[30]

Abu Hurairah ra berkata, “Ada tiga orang yang pada hari Kiamat kelak tidak akan diajak berbicara oleh Allah, tidak disucikan dan bagi mereka adzab yang pedih. Yaitu; orang yang tidak mau memberi minum orang yang dalam perjalanan (musafir), padahal dia kelebihan air, orang yang membaiat seorang pemimpin karena pertimbangan duniawi semata (hanya dilaksanakan jika menguntungkan dirinya), orang yang berjual-beli suatu barang sesudah Ashar, lalu dia bersumpah demi Allah, sungguh barang ini telah ditawar sekian dan sekian. Kemudian dibenarkan oleh pembeli, maka dia (pembeli) mengambilnya sedangkan dia (yang bersumpah) tidak ditawar senilai itu pada barangnya.”[31]

Dari Amir bin Rabiah, bahwa Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam bersabda, ”Barangsiapa yang melanggar janji setia (baiat) maka pada hari kiamat dia akan didatangkan tanpa argumentasi atau alasan. Dan barangsiapa yang meninggal tanpa baiat maka matimya dalam keadaan jahiliyah.”[32]

Apakah pembatalan baiat (al-iqalah) diperbolehkan atau dilarang.? Apakah diperbolehkan menuntut pembatalan atas baiat umum dan baiat khusus.? Seandanya tuntutan pembartalan itu benar-benar diajukan apakah diterima.?[33]

Jabir bin Abdullah D berkata, “Pada suatu ketika seorang lelaki Badui menemui Nabi. Dia menyatakan memeluk Islam dan berbaiat untuk berhijrah. Setelah pembaiatan tersebut, dia terus menerus menemui Nabi dan berkata, “Batalkan janji saya, wahai Rasulullah j “ Nabi menolak. Dia datang lagi dan berkata, “Batalkan janji saya, wahai Rasulullah j “ Nabi tetap menolak, kemudia Badui tersebut melarikan diri. Lalu Nabi berdiri dan bersabda, “Sesungguhnya kota Madinah itu tidak lain seperti alat peniup api yang menjungkirkan kotorannya (karatnya besi) dan memelihara kebaikan.”[34]

Ziyad bin Hairts berkata, “Pada suatu pagi aku menemui Rasulullah j kemudian aku berkata kepadanya: Wahai Rasulullah batalkan janjimu. Sesungguhnya saya tidak menginginkan janjin itu. Kemudian Nabi bersabda, “Mengapa engkau menolak ?, Saya katakan: Sesungguhnya saya mendengar engkau bersabda bahwa siapa saja yang memminta sedekah (mengemis) kepada orang kaya, kepalanya akanpening dan perutnya akan sakit. Sedangkan saya wahai Rasulullah j , telah mengemis kepada engakau, padahal saya berkecukupan. Kemudian Nabi bersabda, “Itulah yang baik. Jika engkau menginnginkannya, engkau ambil dan jika engkautidak menginginkannya, engkau tinggalkan.” Saya berkata bahwa saya meninggalkannya.”[35]

Manfaat dari baiat umum

1. Diperolehnya imamah

Jika dilakukan baiat yang menghasilkan kekuasaan, maka jadilah seseorang sebagai pemimpin. Dalam hal ini, syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Seandainya ditakdirkan bahwa yang membaiat Abu Bakar D hanya Umar D dansekelompok sahabat sedangkan sahabat yang lain tidak melakukannya, Abu Bakar D tidak akan menjadi seorang pemimpin. Abu Bakar D menjadi pemimpin karena baiat jumhur umat Islam. Meskipun Sa’ad bin Ubadah menolak membaiatnya, tetapiu dia tidak melecehkan maksud kepemimpinannya. Seandainya ada salah seseorang menolak untuk berbaiat maka dia tidak merusak baiat tersebut. Adapun wasiat Abu Bakar D kepada Umar D untuk menduduki khilafah sepeninggalnya terwujud dengan pembaiatan seluruh umat Islam terhadap Umar D setelah Abu Bakar D wafat. Seandainya mereka tidak melaksanakan wasiat Abu Bakar D dan tidak bersedia membaiat Umar D , niscaya Umar tidak menjadi khalifah.”[36]

2. Baiat itu merupakan transaksi (akad) pertama dan terbesar yang kepadanya terfokus seluruh transaksi yang lain.[37]

Transaksi tersebut terjadi diantara individu, seperti transaksi perdamaian, perserikatan dan sewa-menyewa. Juga transaksi yang bersumber dari penguasa untuk para pembantunya di empat wilayah kekuasaan, yaitu;

a. wilayah kekuasaan umum yang menangani tugas-tugas umum, yaitu para menteri.

b. wilayah kekuasaan umum yang menangani tugas-tugas tertentu atau terbatas, yaitu para gubernur.

c. wilayah kekuasaan khusus yang menangani tugas-tugas umum, yaitu hakim agung, komandan tentara dan penjaga tapal batas.

d. wilayah kekuasaan khusus yang menangani tugas-tugas khusus, yaitu hakim wilayah.[38]

3. Menyelesaikan permasalahan dan perselisihan yang timbul diantara kaum.[39]

4. Memelihara bentuk dan ruh jamaah.

Diriwayatkan oleh ath-Thabari dari al-Walid bin az-Zuhri, bahwa Umar bin al-Harits bertanya kepada Sa’id bin Abu Zaid, “Apakah engkau menyaksikan wafatnya Rasulullah j ? Sa’id menjawab, “Ya.” Dia bertanya, “Kapan Abu Bakar D dibaiat.? “Pada hari meninggalnya Rasulullah j , mereka tidak ingin bermalam beberapa hari sedang mereka tidak berada dalam satu jamaah.”[40]

5. Memberikan batasan hukum dan bentuknmya sesuai khilafah kenabian yang sebenarnya atau kesultanan kerejaan yang nyata andaikata timbul situai yang berubah.

Jika ahlul halli wal aqdi membaiat orang yang paling banyak memiliki keutamaan, paling memenuhi syarat, paling ditaati oleh semua orang dan mereka tidak menolak memberikan baiat kepadanya dialah khalifah Nabi yang sesungguhnya. Jika tidak demikian, orang yang dibaiat itu raja (malik), bukan pemimpin atau imam.[41].[42]

6. Baiat mampu membatasi sikap umat terhadap penguasa (berdasarkan kedudukannya di dalam syariat)

Pembaiatan terhadap penguasa dianggap memenuhi kriteria syariat jika dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kekuatan danpertahanan dari jumhur umat Islam (sehungga dapat menciptakan stabilitas) dan ditetapkan melalui musyawarah dan menunggu. Dalam kaitannya dengan hal itu, umat Islam wajib menjaga baiat tersebut dan membela penguasa yang telah dibaiat. Jika penguasa itu ditawan setelah dibaiat, seluruh umat wajib membebaskannya dari tangan musuh yang aniaya (baghyin), sedangkan dia tidak diharapka lepas dari kepemimpinannya.[43]

7. Penguasa memperoleh pertolongan rakyatnya dengan cepat.

Bukti terbaiak berkaiatan dengan hal ini adalah pengalaman Rasulullah j dan para sahabat saat perang Hunain. Imam Muslim meriwayatkan dari Abbas, “Saya ikut terjun dalm perang Hunain bersama Rasulullah j. saya dan Abu Sufyan bin al-Harits bin Abdul Muththalib terus menempel Rasulullah j kami tidak mau berpisah dengan beliau. Pada saat itu beliau naik seekor bughal putih miliknya—hadiah dari Farwah bin Nufatsah al-Judzami--. Ketika pasukan muslimin dan kufar telah berhadap-hadapan langsung pasukan Islam lari kocar-kacir. Rasulullah j menepuk bughalnya menghadapkan ke arah musuh. Pada saat itu sayalah yang memegang tali bughal beliau. Saya harus sering menahannya agar tidak lari cepat, sementara Abu Sufyan memegang pelana beliau. Kemuadian Beliau bersabda, “Wahai Abbas, panggilah ashhabus samurah (para sahabat yang pernah berbaiat di bawah pohon).! Lalu saya berteriak dengan lantang, “Di manakah ashhabus samurah.? Mereka menjawab, “Baik, kami akan penuhi panggilanmu.!”[44]

Para imam as-sunnah berkata, “Barangsiapa memiliki kekuatan dan kekuasaan dan melaksanakan maksud kekuasaan tersebut, maka dia termasuk ulil amri. Allah telah memerintahkan umat Islam untuk mentaatinya selama mereka tidak menyuruh kepda perbuatan maksiat kepada Allah.”[45]

b. Bai'at Shughro / Bai'at Amal

Baiat sughra adalah bai'at yang diambil atas amal ma'ruf syar'i. Tidak ada perselisihan dalam masyru'iyyah ber-ijtima' atas amal kebaikan dan mengikat perjanjian atasnya (ta'aqud), serta mentaati pemimpinnya dalam hal yang ma'ruf (selain maksiat). [46]

Adapun yang termasuk dalam baiat ini, diantaranya :

1. Baiat atas Islam

Contoh Baiat ini adalah beberapa pernyataan para sahabat kepada Rasulullah, berikut ini:

عَنْ ضِمَانَ اَنَّهُ قَالَ للِنَّبِيِّ j هَاتِ يَدَكَ اُبَايِعُكَ عَلَى الاِسْلاَمِ فَبَايَعَهُ قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : (( وَ عَلَى قَوْمِكَ , قَالَ : وَ عَلَى قَوْمِى ))

Artinya, Dari Dhiman D berkata kepada Nabi Muhammad j, " Ulurkanlah tanganmu agar saya berbaiat atas Islam", lalu Rasulullah j membaiatnya dan bersabda "dan atas kaummu !" Aku menjawab, "dan atas kaumku".[47]

Diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dan Ahmad darir Jarir bin Abdullah, “Saya datang kepada Nabi dan berkata, “Saya berbaiat kepadamu untuk Islam dan Nabi memberikan syarat kepadaku agar setia kepada setiap muslim. Maka aku berbaiat kepadanya untuk ini.”[48]

عَنْ مُجَاشِعِ بْنِ مَسْعُوْدٍ D قَالَ : اَتَيْتُ النَّبِيَّ j بِأَخِى يَوْمَ الفَتْحِ فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ الله جِئْتُكَ لِتُبَايِعَهُ عَلَى الِهجْرَةِ . قَالَ : ذَهَبَ اَهْلُ الِهجْرَةِ بِمَا فِيْهَا , قَالَ : عَلَى اَىِّ شَيْءٍ نُبَايِعْ ؟ قَالَ : عَلَى الاِسْلاَمِ وَ الجِهَادِ

Dari Mujasyi’ bin Mas'ud D : Saya mendatangi Rasulullah j bersama saudaraku, Ya Rasulullah, saya datang agar engkau membaiatnya atas hijrah, bersabda Rasulullah j, “telah berlalu para muhajir dengan pahalanya” , dia berkata, “Jadi atas apa kami berbai’at ?” Rasulullah bersabda, “Atas Islam dan Jihad “[49]

Contoh yang lain adalah:

- Baiatnya Basyir bin al-Khashashiyah atas rukun-rukun Islam, shadaqah dan jihad.

- Baiatnya Tsauban untuk tidak ditanya oleh seseorangpun.

- Baiatnya Abu Dzar atas lima perkara.

- Baiatnya Sahl bin Sa’ad dan yang lainnya atas amal Islam.

- Baiatnya Ubadah bin Shamit dan yang lainnya dari kalangan sahabat pada baiat Aqabah pertama. [50]

3. Baiat atas Nusroh dan Ma'unah (pertolongan dan perlindungan)

Sebagaimana yang terjadi pada baiat aqobah yang kedua, Rosulullah j bersabda :

(( اُبَايِعُكُمْ عَلَى اَنْ تَمْنَعُوْنِى كَمَا تَمْنَعُوْنَ مِنْهُ نِسَاءَكُمْ وَ اَبْنَاءَكُمْ ))

Artinya, “Aku membaiat kalian agar kalian membela (melindungi)ku sebagaimana kalian melindungi anak dan istri kalian.[51]

Contoh Baiat ini yang lain adalah:

- Baiatnya tujuh puluh orang Anshar ketika Aqabah untuk pertolongan.

- Keluarnya dua belas Nuqabaa’ (kepala suku) Anshar.

- Baiatnya Abul Haitsam dan perkataannya untuk para sahabatnya.[52]

4. Baiat atas hijroh

Baiat atas hijroh ada masa Rosulullah j dari Makkah berhenti setelah Fathu Makkah

عَنْ جَابِرٍ D قَالَ : (( جَاءَ عَبْدٌ فَبَايَعَ النَّبِيَّ صَلَى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَلَى الْهِجْرَةِ ))

Dari Jabir ra : Datang seorang hamba sahaya lalu berbaiat kepada Rosulullah j atas hijroh. [53]

Contoh lainnya adalah:

- Baiat Ya’la bin Munyah dari ayahnya.[54]

5. Baiat atas jihad

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

(( إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَاْلإِنجِيلِ وَالْقُرْءَانِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ))

Artinya, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalanAllah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (itu telah menjadi) janji Allah yang benar di dalam Taurat, Injil dan Al Quran, Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah ?. Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. at-Taubah: 111).

Kaum Muhajirin dan Anshar ketika menggali parit Khandaq selalu mengulangi syair

(( نَحْنُ الَّذِيْنَ بَايَعُوْا مُحَمَّدًا عَلَى الِجهَادِ مَا بَقَيْنَا اَبَدًا ))

“Kami orang yang telah membaiat Muhammad atas jihad selama hayat dikandung badan.” [55]

Rasulullah j bersabda, “Tidak ada hijrah setelah penaklukan Makkah, yang ada adalah jihad dan niat yang baik dan jika diserukan kepadamu untuk berperang maka berangkatlah berperang.” (HR Muslim).

Kesempatan memperoleh kebaikan dengan melakukan hijrah sudah tertutup dengan adanya fathu Makkah, tetapi masih terbuka kesempatan memperolehnya melalui jihad dan niat baik.[56]

6. Baiat Istimatah

Dalam sebuah hadits disebutkan:

عَنْ يَزِيْد بْنِ عُبَيْدِ قَالَ : قُلْتُ لِسَلَمَةَ بْنِ الاَكْوَاعِ : عَلَى اَىْ شَيْءٍ بَايَعْتُمْ رَسُوْلَ اللهِ j يَوْمَ الحُدَيْبِيَّةِ ؟ قَالَ : عَلَى الْمَوْتِ

Dari Yazid bin Ubaid D : Saya bertanya kepada Salamah bin Al Akwa', “Atas hal apakah kalian membaiat kepada Rasulullah j pada hari Hudaibiyyah” dia menjawab, “Atas mati” (kami ber-bai’at untuk siap mati) (HR. Bukhori)[57]

Ibnu Handhalah telah membaiat penduduk Madinah untuk mati dalam peristiwa Hurroh.[58]

Imam Muslim dan ad-Darimi meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, dia berkata, “Pada hari Hudaibiyah kami berjumlah 1.400 orang. Kami berbaiat kepada Nabi j, sementara

Umar D memegang tangan beliau di bawah pohon yang berbuah dan berkata, “Kami berbaiat kepada Nabi j untuk tidak lari (dari medan tempur) dan tidak berbaiat untuk mati.”[59]

Imam an-Nawawi berkata, “Maksudnya adalah sabar sampai mengalahkan musuh atau membunuhnya, inilah makna baiat untuk mati dan bukannya mati itu sendiri.”[60]

Dalam riwayat al-Bukhari disebutkan, “Saya bertanya kepada Nafi’, untuk apakah Nabi membaiat mereka? Untuk mati? Dia menjawab, “Tidak, Nabi membaiat mereka untuk sabar.”[61]

Diriwayatkan oleh imam Ibnu Hajar dalam Tahdzbut-Tahdzib tentang biografi Sahl bin Hubaib, “Dia menyaksikan perang Badar dan peperangan lainnya. Dia tertap bersama Rasulullah j pada peran Uhud dan telah berbaiat kepadanya untuk mati.”[62]

Ikrimah bin Abu Jahal membaiat pasukan Islam untuk mati pada perang Yarmuk yang terkenal dengan Kutaibatul Maut. [63]

7. Baiat Tugas

Yang termasuk dalam Baiat ini adalah riwayat dari Abi Saffarra, bahwa Abu Bakar radliyallaahu 'anhu bila hendak mengirim pasukan membaiat lebih dulu. [64]

8. Baiat atas amal ma'ruf yang lain

Dalam sebuah hadits disebutkan:

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ الله : اَتَيْتُ النَّبِيَّ j وَ هُوَ يُبَايِعُ . فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ اَبْسِطْ يَدَكَ حَتَّى اُبَايِعَكَ . وَ اشْتَرِطْ عَلَىَّ فَاَنْتَ اَعْلَمُ . قَالَ اُبَايِعُكَ عَلَى اَنْ تَعْبُدَ الله وَ تُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَ تُؤْتِىَ الزَّكَاةَ وَ تُنَاصِحَ المُسْلِمِيْنَ وَ تُفَارِقَ المُشْرِكِيْنَ { رواه احمد و النسائى }

Dari Jarir bin Abdillah berkata, “Saya mendatangi Rasulululloh j sedang beliau tengah membai’at, maka saya berkata, ‘Ya, Rasulullah ulurkan tanganmu agar saya berbaiat dan sebutlah isi baiatnya karena Engkau yang lebih tahu!’ Rosulullah j bersabda, "Saya membaiatmu atas ‘ibadah kepada Allah Ta'ala, menegakkan sholat, menunaikan zakat saling menasehati sesama muslim dan memisahkan diri dari orang kafir. [65]

Contoh yang lain adalah riwayat dari imam al-Bukhari dari sahabat Ubadah bin Shamit, dia berkata, “Rasulullah j membaiat kami untuk tidak merempas milik orang lain.[66]

Dari Abu Nahilah al-bajali, Jarir berkata, “Saya mendatangi Nabi yang saat itu sedang membaiat. Saya berkata, “Ya Rasulullah j, ulurkan tanganmu sehingga saya berbaiat kepadamu dan berikan syrat-syarat kepadaku karena engkau lebih tahu. Rasulullah j berkata, “Saya membaiatmu untuk menyembah Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, jujur dan setia kepada orang-orang muslim serta perpisah dari orang-orang kafir.”[67]

Dari ‘Aisyah, ia berkata kepada Ibnu Abu Sa’ib (hakim penduduk Madinah), “Ada tiga perkara engkau akan berbaiat kepadaku untuknya atau akau akan memerangimu. Dia berkata, “Apaka itu ?, saya akan berbaiat kepadamu wahai ummul mukminin.” ‘Aisyah berkata, “Jauhilah bersajak dalam berdo’a karena Rasulullah j dan para sahabatnya tidak melakukannya, ceritakanlah kepada manusia dalam setiap jum’at; sekali, dua kali, ataun tiga kali, agar mereka tidak bosan dengan kitab ini (al-Qur’an), dan jangan sampai akau menemuimu dalam keadaan mendatangi kaum yang sedang melakukan pembicaraan lalu kamu memotongnya. Jika mereka mengajakmu dan menyuruhmu berbicara, maka berbicaralah kepada mereka.”[68]

Imam Ahmad dan an-Nasa’i meriwayatkan dari Ummu Athiyah, bahwa Rasulullah telah membaiat mereka untuk tidak meratapi mayat.

Hakim bin Hazm berkata, “Saya berbaiat kepada Rasulullah j untuk tidak meninggalkan shalat.”

9. Baiat kaum Wanita

Dari Umaimah binti Raqiqah, ia berkata, “Saya mendatangi Rasulullah j bersama kaum wanita yang berbaiat kepadanya untuk Islam. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah j kami berbaiat kepadamu untuk tidak meyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak kami, tidak berdusta, baik di depan maupun di belakang dan tidak menentang perbuatan ma’ruf.” Rasulullah j bersabda, “sekiranya kalian mampu dan kuat.” Mereka berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui daripada kami.” Rasulullah j bersabda, “Saya tidak berjabat tangan dengtan kaum wanita. Ucapanku untuk seratus kaum waniata adalah sama dengan ucapanku untuk seorang wanita.”[69]

Hal ini juga berdasarkan hadis:

(( أَلاَ تُبَايِعُوْنِيَ عَلَى مَا بَايَعَ عَلَيْهِ النِّسَاءِ ؟ أَنْ لاَ تُشْرِكُوْا بِاللهِ شَيْئًا وَلاَ تَسْرِقُوْا وَلاَ تَزْنُوْا ))

Artinya: “Tidakkah kalian berbaiat kepadaku seperti yang telah dilakukan oleh kaum wanita ? yaitu, tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri dan tidak berzina.”[70]

‘Aisyah berkata, “Nabi membaiat kaum wanita hanya dengan ucapan dan tangan beliau tidak menyentuh tangan wanita, kecuali istrinya.”[71]

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah, bahwa Rasulullah j menguji siapa saja yang berhijrah kepada beliau dari kaum wanita mukminah berdasarkan ayat 12 dari QS al-Mumtahanah.

‘Urwah meriwayatkan, bahwa ‘Aisyah berkata, “Kepada kaum wanita mukminah yang menetapkan diri berpegang teguh dengan syarat (baiat) ini, Rasulullah j bersabda, “Saya telah membaiat kamu dengan ucapan.” Demi Allah beliau, belum pernah sekalipun menyentuhkan tangannya dengan tangan wanita manapun pada waktu berbaiat. Beliau hanya bersabda, “Saya telah membaiatmu terhadap perkara-perkara itu.”[72]

Dari ‘Aisyah ra berkata, “Datanglah Fatimah binti Utbah bin Rabi’ah kepada Rasulullah untuk berbaiat, maka beliaupun membaiatnya dengan ayat -untuk tidak mencuri dan berzina-,” Fatimah meletakkan tangannya di kepalanya dengan tersipu malu, Rasulullahpun keheranan melihatnya. ‘Aisyah berkata, “Aku sampaikan kepadamu wahai wanita, demi Allah tidaklah beliau membaiat kami melainkan hanya seperti ini.” maka Fatimah berkata, “Benar beliau hanya membaiat dengan ayat.”[73]

10. Baiat hamba Sahaya

Dari Jabir berkata: Seorang pemuda mendatangi Rasulullah j dan berbaiat untuk hijrah sedangkan beliau tidak mengetahui kalau dia seorang budak. Lalu tuannya datang mencarinya. Beliau berkata kepadanya, “Juallah dia kepadaku,! kemuadian beliau menukarnya dengan dua orang budak hitam. Setelah itu, Nabi tidak membaiat seseorang kecuali bertanya lebih dulu, apakah dia seoranag budak?.”[74]

Di dalam baiat budak, kecuali untuk kesetiaan kepada Islam, akadnya tergantung izin tuannya karena dialah yang memiliki hak wali.[75]

11. Baiat Orang yang Sakit

Dari Umar bin Syuraid dari ayahnya--Syuraid bin Syuraid--diantara utusan Tsaqif terdapat orang yang sakit lepra. Nabi menyuruh seseorang untuk menyampaikan ucapannya, “Pulanglah, kami tel;ah membaiatmu.”[76]

Dalam baiat orang sakit, gugur keharusan untuk jabat tangan. Bahkan sebaiknya jabat tangan itu tidak dilakukan.[77]

Dari Abu Hurairah D Rasulullah j bersabda, “Tidak ada penyakit menular, tidak ada istilah burung yang membawa nasib sial, tidak ada binatang serangga yang beracun dan juga tidak benar bulan Shafar adalah bulan sial. Hindarkanlah dirimu dari penyakit kusta, seperti kamu lari dari seekor singa.” (HR Al-Bukhari dan Ahmad)

Imam Qadhi Iyadh berkata, “Mengatasi masalah dengan menghindarkan diri darinya adalah sunnah dan ihtiyath (tindakan preventif) adalah bukan sesuatu yang wajib.” [78]

Al-Hafidz telah menukil dari al-Kilabadzi dalam menafsirkan hadits mengenai penyakit menular dan upaya melarikan diri darinya. Menurut beliau, hadits ini mengandung nafyu dan itsbat pada dua kondisi yang berbeda. Beliau mengucapkan “Tidak ada penyakit menular” karena orang yang diajak berbicara pada saat itu mempunyai keyakinan yang kuat sehingga dia dapat terhindar dari kemungklinan tertular sebagaiman dia dapat mempertahankan diri dari serangan tenung. Sebab orang yang memiliki keyakinan kuat tidak akan terpengaruh olehnya. Oleh karena baiat penderita kusta kepada Nabi hanya dengan mengucapkan “kami telah membaiatmu” sebagaiman sunnahnya, baiat terhadap kaum laki-laki itu dilakukan dengan berjabat tanga. Hal ini disebutkan oleh al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi.[79]

Syarat Baiat Shughra[80]

Ta’ahud (ikatan perjanjian) hendaklah memenuhi beberapa syarat berikut;

  1. Hendaklah dasar ikatan perjanjian tersebut adalah perkara syar’i.
  2. Dalam perkara tersebut memang benar-benar membutuhkan adanya ikatan perjanjian.
  3. Dalam pelaksanaanya bukan bertujuan untuk membatalkan Baiat Imamatul Uzhma.
  4. Tidak menisbatkan kepada yang bukan termasuk syi’ar dari sunnah dan jamaah, tidak berhizib (berpartai), tidak pula atas dasar yang berbau bid’ah--menyelishi manhaj mereka--dan juga tidak mengadakan ikatan wala’ dan barra’ atas hal-hal tersebut.

Pembatalan Baiat dan Hukumnya

Islam adalah din yang penuh komitmen dan beraturan, termasuk dari tuntutan din ini adalah memenuhi janji, baik antara sebagian muslim dengan sebagian yang lain dan bahkan terhadap orang-orang kafir. Di dalam al-qur’an tersebut tuntutan janji ini, baik yang khusus antara seorang pribadi maupun dengan jamaah mereka. Dan bahkan antara kaum muslimin dan musuhnya, yaitu kaum kafir. Hal ini sebagaiman yang tersebut dalam al-Isra’: 34, an-Nahl: 91 dan al-Maidah: 1.

  1. Baiat atas Islam. Dalam hal ini, jika seseorang yang telah berbaiat membatalkannya maka dia dihukumi kafir dan murtad dari Islam.
  2. Baiat Hijrah. Orang yang membatalkan baiat ini dihukumi berbuat dosa besar dan tidak kafir maupun murtad sebagaimana yang dilakukan oleh Arab Badui.
  3. Baiat Nusrah, jihad ataupun mendengar dan taat. Dalam masalah ini, orang yang membatalkannya, maka dia dihukumi berbuata maksiat, berbuat dosa besar dari dosa-dosa besar.[81]

IV. Kaifiyat Bai'ah[82]

Baiat yang berlangsung di masa Nabi j dan setelahnya memiliki beberapa cara, diantaranya adalah;

a. Dengan berjabat tangan dan kalam (melafadzkan baiat)

Ini pada kebanyakan bai'at yang dilakukan oleh Rasulullah j seperti pada Baiatur Ridhwan, " Kemarikan tanganmu, akan saya baiat"

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

(( إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَاعَاهَدَ عَلَيْهُ اللهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا ))

Artinya, “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah.Tangan Allah di atas tangan mereka,maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (QS. al-Fath (48): 10)

Imam an-Nawawi berkata, “Baiatnya kaum laki-laki adalah dengan berjabatan tangan dan ucapan.”[83]

b. Dengan ikrar (lafadz baiat) saja

Baiat ini adalah yang terjadi pada kaum wanita, karena seorang laki-laki tidak boleh menyentuh kaum wanita yang bukan mahramnya. Sebagaiman yang dilakukan para Shahabiyah Nabi.

عَنْ عَائِشَةَ : اِنَّ رَسُوْلَ اللهِ j كَانَ يَمْتَحِنُ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ بِهَذِهِ اْلأَيَة ( ياأيهاالنبي إذاجاءك المؤمنات يبايعنك على ان لايشركن بالله شيئا ــــــــــــــ حتى أخرالايه، الممتحنة : 12)

فَمَنْ أَقَرَّ بِهَذَا الشُّرُطِ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ قَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ : قَدْ بَايَعْتُكِ كَلاَمًا وَلاَ وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَ إمْرَأَةٍ قَطٌّ. { رواه البخارى }

Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anha : Sesungguhnya Rasulullah j selalu menguji setiap mukminah yang berhijroh kepada Nabi j dengan ayat ini (Q.S Al Mumtahanah ayat 12), Maka barang siapa yang berikrar dengan ayat ini berkata Rasulullah j, “Saya telah membai’at kalian dengan perkataan”. Demi Allah, tangan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh tangan perempuan asing (ajnaby). (H.R. Bukhoriy).

قَالَتْ عَائِشَةَ رَضِىَ الله عَنْهَا : وَ اللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلُ اللهِ j : يَدَ امْرَأَةً قَطٌّ غَيْرَ اَنَّهُ يُبَايِعْهُنَّ بِالكَلاَمِ

Berkata 'Aisyah Radhiyallaahu 'anha: Demi Allah, tangan Rosulullah j tidak pernah menyentuh tangan perempuan, beliau membaiat dengan perkataan saja.[84]

عَنْ عَمْرُوْ بْنَ الشَرِيْدِ عَنْ اَبِيْهِ قَالَ : كَانَ فِى وَفَدِ ثَقِيْفٍ رَجُلٌ مَجْذُوْمٌ فَأَرْسَلَ اِلَيْهِ النَّبِيَّ صَلَى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ : اِنَّا قَدْ بَايَعْنَاكَ فَارْجِعْ

Dari Amr bin Syarid, dari ayahnya berkata, “Adalah Rosulullah j membaiat seseorang yang sakit lepra dalam utusan bani Tsaqif, Beliau berkata, “Kembalilah, Aku telah membaiatmu.” [85]

c. Dengan tulisan atau surat

Seperti terjadi pada bai'at raja Najasyi[86] dan bai'at Abdullah bin Umar pada Abdul Malik bin Marwan. Imam al-Bukhari meriwayatkan, bahwa Ibu Umar menulis surat kepada Abdul Malik bin Marwan dan membaiatnya (melalui surat tersebut):

(( وَأُقِرُّ لَكَ بِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ عَلَى سُنَّةِ اللهِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِهِ فِيْمَا اسْتَطَعْتَ ))

Artinya, “Aku menetapka kepadamu agar mendengar dan taat atas sunnah Allah dan sunnah Rasul-Nya, semampumu.”[87]

V. Rukun-rukun Baiat

a. Mubayi' (orang yang membaiat)

Mubayi' harus mukallaf (memenuhi syarat-syarat taklif), yaitu :

1. Islam

2. 'Aqil

3. Baligh

Rosulullah j bersabda :

عَنْ عَلِىٍ D قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ j : رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ : عَنِ الْمَجْنُوْنِ الْمَغْلُوْبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يَبْرِءَ وَ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَ عَنِ الصَّبِي حَتَّى يَحْتَلِمَ

Dari Ali bin Abi Thalib D berkata, bersabda Rasulullah j, "Diangkat pena dari tiga hal, orang gila yang tidak berakal sampai sembuh, orang tidur sampai bangun dan anak kecil sampai baligh." [88]

اِنَّ زَيْنَب بِنْتِ حُمَيْدِ ذَهَبَتْ بِاِبْنِهَا عَبْدُ الله بْنِ هِشَامٍ وَ كَانَ قَدْ يُدْرِكُ النَّبِيَّ j فَقَالَتْ : يَا رَسُوْلُ الله بَايِعْهُ ! فَقَالَ النَّبِيُّ j: هُوَ الصَّغِيْر فَمَسَّ رَأْسَهُ وَ دَعَا لَهُ

Zainab binti Hamid datang kepada Rasulullah j bersama anaknya Abdullah bin Hisyam dan berkata "Ya Rosulullah , baiatlah anak ini." Beliau berkata, “Ia masih kecil", maka beliau mengelus kepalanya dan mendoakannya. (HR. Bukhori)

4. Faham

Yaitu memahami makna isi baiat dan konsekwensinya

b. Mubaya' (orang yang dibaiat):

1. Bai'ah Kubra, mubaya' adalah Imam A'dham /kholifah.

2. Bai'ah Shugra, mubaya’ adalah khalifah, juga kaum muslimin sebagian dengan sebagian lainnya.[89]

c. Lafadz baiat,

1. Bai'ah Kubro :

* Inti Bai'ah ini :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قاَلَ :((إِنِّى أَقَرُّ بِالسَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ لاَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَى سُنَّةِ اللهِ وَ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ )){رواه البخاري }

Dari Ibnu Umar D : Saya menetapkan untuk Sam'u dan Tho'ah kepada Amirul Mukminin atas Sunnah Allah dan Sunnah Rsul-Nya . (HR. Bukhory)

* Ketaatan kepada baiah ini adalah mutlak dalam ketaatan kepada Allah dan Rosul-Nya yaitu dalam hal-hal yang ma'ruf bukan kemaksiyatan.

قَالَ رَسُوْلُ الله j : (( عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَ الطَّاعَةُ فِيْمَا اَحَبَّ اَوْ كَرِهَ اِلاَّ اَنْ يُؤْمَرَ بِالْمَعْصِيَّةِ فَاِذَا اُمِرَ بِالْمَعْصيَّةِ فَلاَ سَمْعَ وَ لاَ طَاعَةَ )){ متفق عليه }

Bersabda Rasulullah, "Wajib atas setiap muslim untuk sam'u dan tho'ah dalam hal-hal yang disukai atau dibenci kecuali jika diperintah unutk bermaksiyat, maka jika diperintah untuk bermaksiyat tidak ada sam'u dan thoah". (Muttafaq Alaih.)

قَالَ رَسُوْلُ الله j: (( مَنْ اَطَاعَنِى فَقَدْ اَطَاعَ اللهَ وَ مَنْ عَصَانِى فَقَدْ عَصَى اللهَ َومَنْ اَطَاعَ اْلاَمِيْرِ فَقَدْ اَطَاعَنِى وَمَنْ عَصَى اْلاَمِيْرِ فَقَدْ عَصَانِى )){ متفق عليه } وَ فِى رِوَايَةٍ : اَمِيْرِى .

Barang siapa mentaatiku maka ia telah mentaati Allah, dan barang siapa bermaksiyat kepadaku ia telah bermaksiyat kepada Allah, Barang siapa mentaati 'amir ia telah mentaatiku, dan barang siapa bermaksiyat kepada 'amirku ia telah bermaksiyat kepadaku. (Muttafaq Alaih).

2. Bai'ah Shugro;

Batasan ketaatan tergantung dari lafadz baiat yang disepakati waktu berbaiat [90]

4. Konsekwensi Baiat

a. Menepati Bai'ah (اْلوَفاَءُ باِلْبَيْعَةِ )

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِاِلْعُقُود { المائدة 1}

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman tepatilah perjanjian-perjanjian kalian.

Ibnu Abbas radliyallaahu 'anhu dan Mujahid berkata : ( الْعُقُودberarti (العُهُوْد ) yaitu segala bentuk perjanjian yang mereka lakukan baik hilf maupun yang lainnya. Tafsir al Quranul Adhim, Ibnu Katsir 2/6.

وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً { الاسراء 34}

Artinya, “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (Q.S. Al Israa’ 34)

وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللهِ إِذَا عَاهَدتُّمْ وَلاَتَنقُضُوا اْلأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلاً إِنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَاتَفْعَلُونَ {91} وَلاَتَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِن بَعْدِ قُوَّةٍ أَنكَاثًا تَتَّخِذُونَ أَيْمَانَكُمْ دَخَلاً بَيْنَكُمْ أَن تَكُونَ أُمَّةُ هِيَ أَرْبَى مِنْ أُمَّةٍ إِنَّمَا يَبْلُوكُمُ اللهُ بِهِ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَاكُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ { النحل 92}

Artinya, “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu diantaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya dihari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.” (Q.S. An Nahl: 91, 92)

Mujahid, Qotadah, Adh Dhahhak, Ibnu Zaid menafsirkan ayat

((أَنْ تَكُونَ أُمَّةُ هِيَ أَرْبَى مِنْ أُمَّةٍ ))

Artinya, “Mereka membuat perjanjian dengan sekutu mereka lalu mereka mendapati sekutu lainnya yang lebih banyak jumlahnya dan lebih mulia, maka mereka membatalkan perjanjian dengan sekutu pertama dan membuat perjanjian dengan kelompok kedua yang lebih banyak dan lebih mulia, kemudian dilaranglah perbuatan mereka itu. 21

Ibnu Taimiyah, “Pada hakekatnya mereka yang berada pada kebiasaan jahiliyah dengan berpindah-pindah dari satu syeikh kepada syeikh laintelah berbuat dholim terhadap ahd (perjanjian) mereka, tidak bisa dipercaya perjanjiannya, dan ini adalah perbuatan haram dan dosa. 4

b. Tidak Ghadar/ Naktsul Baia'h (عَدَمُ الْغَدَرِ اَوْ نَكْثُ الْبَيْعَةِ )

Naktsul Baiah adalah membatalkan baiat dengan curang (secara sepihak) 22

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَاعَاهَدَ عَلَيْهُ اللهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا { الفتح 10}

Bahwasanya orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah diatas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa diri sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.

قَالَ رَسُوْلُ الله j:(( يُنْصِبَ لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ )){ رواه البخارى , كتاب الفتن }

Para pelanggar janji akan dipasang bendera padanya pada hari kiamat. (HR. Bukhori , kitab fitan)

قَالَ رَسُوْلُ الله j:(( اَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَ مَنْ كَانَ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ النَّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا : اِذَا حَدَثَ كَذَبَ وَ اِذَا ائْتُمِنَ خَانَ وَ اِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَ اِذَا خَاصَمَ فَجَرَ )){ متفق عليه }

Ada empat hal yang jika terdapat pada diri seseorang ia menjadi munafik murni, bila terdapat padanya salah satu sifat ini, terdapat padanya satu sifat kemunafikan sampai meninggalkannya : Jika berkata berdusta, jika dipercaa berkhianat, jika mengadakan perjanjian mengingkarinya, jika berselisih ia curang. (Muttafaq 'Alaih)

Naktsul Baia'h (inkar terhadap perjanjian) termasuk dalam kabair, (dosa besar). 23

Catatan :

‘Iqolah dalam Bai'ah : Membatalkan / meminta kembali bai'ah dengan kesepakatan atas keridhoan kedua belah pihak 24

اْلاِقَالَةُ : التَّحْلِلُ مِنْ اَثَارِ اْلبَيْعَةِ بِاِعْلاَمِ اَحَدُ اْلعَاقِدَيْنِ لِلآَْخَرِ .

Adapun hukum iqolah ini tergantung pada hal-hal yang disepakati dalam bai'ah (isi lafadz bai'ah)

VI. Perbedaan antara Baiat Imamah dengan yang Lainnya[95]

1. Al-Aqid (orang yang terikat dalam baiat)

- Baiatul imamah, yang membaiat adalah ahlul halli wal aqdi dari umat ini atau seorang khalifah yang terikat dengannya.

- Sedang baiat umum terhadap manusia dalam ketaatan, tidak terbatas--pada ahlul halli wal aqdi--. Akan tetapi untuk semua manusia dalam perjanjian mereka atas ketaatan.

2. Al-Mubayya’ lahu (orang yang dibaiat)

- Dalam baiat imamah, wajib bagi orang yang dibaiat memiliki kecakapan atas syarat-syarat baiat.[96]

- Sedang dalam baiat umum dalam ketaatan, tidak diharuskan syarat-syarat ini.

3. Al-Mubayya’ ‘alaih (dibaiat atas hal apa)

- Baiatul imamah mengharuskan seorang imam untuk menerapkan segala ketentuan syariat bagi kaum muslimin.[97] Dalam baiat ini pula, umat harus mendengar dan taat kepada imam serta menolongnya selama keadaannya masih tetap.

- Sedangkan baiat dalam ketaatan, bagi mereka untuk berjanji dalam ketaatan apapun tanpa adanya batas, seperti; jihad, dakwah, amar ma’ruf nahyi munkar, menyelamatkan orang yang teraniaya dan menolong orang yang dizhalimi. Bahkan menyingkirkan duri dari jalan--layak pula bagi mereka untuk mengadakan ikatan janji--adalah termasuk dari cabang keimanan.

4. Al-Wujub wal Iltizam (Tentang Kewajiban dan komit terhadap baiat)

- Dalam baiat imamah, wajib bagi setiap muslim untuk melaksanakannya. Berdasarkan hadits Rasulullah yang artinya, “Barang siapa mati dan belum berbaiat, maka matinya dalam keadaan jahiliyah.”(HR. Muslim dari Ibnu Umar) dan hadits, “Wajib beriltizam terhadap jamaah dan imamnya.”(HR. Muttafaq ‘Alaih dari Hudzifah).[98]

- Adapun dalam baiat ketaatan, tidak wajib kecuali bagi orang yang telah suka rela untuk campur di dalamnya. Jika seseorang telah mengikat janji setia, maka wajib baginya untuk memenuhi ikatan janji tersebut. Seperti dua orang yang mengikat janji dalam menghapal al-qur’an. Sebenarnya hapalan al-qur’an bukan merupakan suatu kewajiban bagi semua muslim, namun jika seseorang telah mengikat janji atasnya maka ia menjadi suatu kewajiban.

Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz berkata, “Kesimpulannya, bahwa baiat imam kaum muslimin adalah wajib menurut syar’i. Sedangkan baiat terhadap manusia secara umum dalam ketaatan adalah wajib bagi orang yang telah terikat dalam perjanjian.”[99]

Ada satu permasalahan yang harus diperhatikan, bahwa jihad fii sabilillah menjadi wajib bagi setiap muslim--sekarang--wajib menurut syar’i, maka setiap muslim harus memulainya. Jika ada segolongan dari kaum muslimin yang melaksanakannya, maka dia wajib beriltizam dengannya. Jika dalam satu negeri golongan tersebut berbilang, maka harus didahulukan golongan yang berada di atas al-haq. Namun jika berbilangnya golongan tersebut disertai dengan keberadaannya di berbagai negeri, dipertimbangkan kepada yang lebih harus didahulukan serta dimungkinkan kejelasannya, lalu menolongnya.

5. Al-Muddah (masa berlakunya baiat)

- Baiat imamah, tidak akan terputus selamanya. Kecuali jika seorang imam wafat atau digulingkan (disebabkan kurangnhya din-nya ataupun badannya).

- Sedangkan baiat terhadap manusia secara umum, mungkin saja berubah waktunya dan adanya pilihan bagi mereka untuk mengukurnya. Hal tersebut berbeda dengan baiat imamah.

6. At-Ta’addud (berbilang dalam baiat)

- Tidak boleh ada dua orang yang memengku imamah kaum muslimin. Rasulullah telah bersabda, “Hendaklah berpegang pada baiat yang awal.”(HR. Muttafaq ‘Alaih) dari Abu Hurairah). Juga sabndanya, “Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah salah satu dari keduanya.”(HR. Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri). Oleh karena itu, dalam baiat imamah, tidak sah berbilangnya imam (imam lebih dari satu). Tidak sah pula bagi seorang muslim untuk memberikan dua baiat bagi dua imam.

- Sedangkan baiat kepada manusia secara umum, boleh untuk berbilang sekiranya sesutu yang dibaiat atasnya menuntut untuk berbilang. Maka boleh bagi seseorang untuk mengikat janji kepada segolongan orang dalam hafalan al-qur’an dan boleh pula baginya mengikat janji kepada segolongan yang lain dalam hafalan al-hadits, bahkan dia boleh mengikat janji kepada beberapa golongan orang dalam hafalan hadits, jika terhadap golongan yang satu dari hadits al-Bukhari dan golongan yang lain hadits Muslim.

Atau terhadap perkara yang tidak memungkinkan untuk berbilang, yaitu dalam masalah jihad. Maka dalam hal ini tidak sah dan tidak dibenarkan mengikat janji lebih dari satu golongan. Dan tidak sah pula berbilangnya golongan yang terjun ke dalam medan jihad, karena jihad tidak akan terlaksana melainkan dengan kekuatan yang buahnya adalah dari perkumpulan dan loyalitas. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: wal mukminun wal miukminat juga wala tana za’uu fatafsyilu. Demikian pula ada sebuah qa’idah “Adh-dharar yuzal”, ini semua adalah karena jeleknya berbilangnya jumlah.

VII. Orang Yang Pertama Kali Berbaiat Dalam Islam

Orang yang pertama kali berbaiat terhadap Rasulullah j adalah al-Barra’ bin Ma’rur (menurut Banu Salamah). Dia adalah al-Barra’ bin Ma’rur bin Shakir bin Sinan bin Ubaid bin Adi bin Ghanum bin Ka’ab bin Slamah al-Anshari as-Salami al-Khazraji Abu Basyir. Ibunya adalah ar-Rabab binti an-Nu’man bin Amru alQais bin Zaid bin Abdul Asyhal. Dia adalah salah seorang ketua kabilah pada malam al-aqbah pertama dan merupakan salah seorang pembesar dan pemukan kaum Anshar, dia adalah orang yang pertama kali shalat menghadap Ka’bah dan yang mewasiatkan sepertiga hartanya.[100]

VIII. Penutup

Demikian pembahasan masalah Baiat menurut syari’at Islam yang dapat saya (penulis) paparkan di dalam makalah ini. Semoga dari pebahasan yang sedikit ini dapat memberikan tambahnya ilmu bagi penulis terutama dan pembaca pada umumnya. Saya berharap kepada Allah semoga menerima amalan ini di sisi-Nya sebagai amalan kebaikan. Tak lupa saya sampaikan jazakumullah kepada seluruh pihak yang turut berpartisipasi hingga terselesaikannya makalah ini, semoga Allah membalas dengan imbalan yang lebih baik dari itu.

Akhir da’wati, segala puji hanya milik Allah semata. Shalawat serta salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi akhir zaman, Rasulullah Muhammad j.

Penulis:

Hamba Allah yang faqir

Nurrahim

IX. Daftar Pustaka

  1. Imam Ath Thabari (224-310 H), Jami’ul Bayan, Darul Fikr Beirut. Cet.1 tahun 1421 H/ 2001 M.
  2. Imam AL Qurthubi, Al Jami’ li’ahkamil Qur’an,
  3. Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Adzim, Al Maktabah Al Ashriyah Beirut. Cet.3 tahun 2000 M/ 1420 H.
  4. Imam Jalaluddin Abdurrahman As Suyuthi, Ad Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur, Darul Fikr Beirut. Cet.tahun 1414 H/ 1993 M.
  5. Sa’id Hawwa, Al-Asas fit-Tafsir, Darus-Salam, Kairo, cet. 1. tahun 1405 H/1985 M.
  6. Imam Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah Al Ja’fi Al Bukhari (194-256 H), Shahih Al Bukhari, Darus Salam Riyadh. Cet.1 tahun 1997 M/ 1417 H.
  7. Imam Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi Abul Hasan An Naisaburi (204-260 H), Shahih Muslim, Darus Salam Riyadh. Cet.1 tahun 1998 M/ 1419 H.
  8. Imam Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah bin Musa bin Adh Dhahhak As Salmi Adh Dharir Al Bughi At TirmidziAt (200-279 H), Jami’ At Tirmidzi, Darus Salam Riyadh. Cet.1 tahun 1999 M/ 1420 H.
  9. Imam Abu Daud As Sijistani Sulaiman bin Al ‘Asy’ats bin Syidad bin Amr Al Azdi (202-275 H), Sunan Abu Daud, Dar Ibnu Hazm Beirut. Cet.1 tahun 1998 M/ 1419 H.
  10. Imam Abu Abdurrahman Al Hafidz Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr An Nasa’I (215-303 H), Sunan An Nasa’I, Darus Salam Riyadh. Cet.1 tahun 1999 M/ 1420 H
  11. Imam Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah Ar Rib’I Al Qazwini (209-273 H), Sunan Ibnu Majah, Darus Salam Riyadh. Cet.1 tahun 1999 M/ 1420 H.
  12. Imam Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Al Harits Al Ashbahi Al Hamiri Abu Abdillah Al Madani (89-179 H), Al Muwaththa’, Darul Fikr. Cet.3 tahun 2002 M/ 1422 H.
  13. Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin As’ad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzahl bin Tsa’labahbin Ukabah bin Sha’b) bin Ali bin Bakar bin Wa’il Adz Dzuhli Asy Syaibani Al Marwazi Al Baghdadi (164-241 H), Musnad Ahmad, Baitul Afkar Ad Dauliyah Riyadh. Cet. Tahun 1998 M/ 1419 H.
  14. Imam Abu Muhammad Al Husain bin Mas’ud Al Baghawi (436-516 H), Syarhus Sunnah, Darul Fikr Beirut. Cet. Tahun 1994 M/ 1414 H.
  15. Al Hafidz Nuruddin Ali bin Abi Bakar Al Haitsami (735-807), Majma’uz Zawa’id wa Mamba’ul Fawa’id, Darul Kutub Al Ilmiyyah Beirut. Cet tahun 1988 M/ 1408 H.
  16. Imam Ibnu Hajar Al Asqalani (773- H), Fathul Bari Syarhu Shahih Al Bukhari, Darul Fikr Beirut. Cet.1 tahun 2000 M/1420 H.
  17. Imam Abu Zakariya Yahya bin Syarafuddin An Nawawi Ad Damsyiqi (631-676H), Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, Darul Kutub Al Alamiyah. Cet.1 tahun 2000 M/ 1420 H.

18. Dr. Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, As-Sirah an-Nabawiyyah fii dhau’il Qur’an was Sunnah, Darul Qalam Damaskus, cet. 4. tahun 1418 H/1998 M.

  1. Muhammad Syeit Khaththab, Ar-Rasul al-Qaid (Rasulullah Sang Panglima, terjemah), Pustaka al-alq, Solo, cet. 1. tahun 1422 H/2002 M.
  2. Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Ar-Rahiqul Makhtum, Mu’assasah ar-Risalah, cet. 1. Tahun 1420 H/1999 M.
  3. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774), al-Fushul Ikhtishar Shiratir-Rasul, Darul Qalam, Damaskus, cet. 1. Tahun 1399-1400 H.

22. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zaadul Ma’ad

23. Ibnu Hisyam, Sirah an-Nabawiyah, tahqiq Musthafa as-Siqaa, Ibrahim al-Ambari dan Abdul Hafizh asy-Syalabi. Dar Ihyaa at-Turats al-Arabi, Beirut, cet. 2 tahun 1417H/1997M.

  1. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthi, Fiqhus Sirah, Darul Fikr Beirut, cetakan Edisi Revisi.
  2. Imam Asy Syaukani (-1255 H), Nailul Authar Syarah Muntaqal Ahbar, Darul Fikr Beirut cet. 2 tahun 1403 H/1983 M.
  3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Al Harrani (661-728 H/1263-1328 M), Majmu’ Fatawa, Mu’assasah Ar Risalah Beirut. Cet tahun 1997 M/ 1418 H.
  4. Syaikh Abdul Mun’in Musthafa Halimah Abu Basyir, Shifat ath-Thaifah al-Manshurah allati yajibu an tukatstsira Sawadaha .www. abubaser. com

28. Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz, Al-Umdah fii I’daadil Uddah.

29. Syaikh Muhammad Yusuf al-Kandahlawi, Hayatush-Shahabah, Darul Qalam, Damaskus, cet. 2 tahun 1403 H/1983 M.

30. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (661-728), Nashihah Dzahabiyah ilaa al-Jamaaat al-Islamiyyah (Fatawa fii ath-Tha’ah wal Bai’ah), ta’liq dan taqdim oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman, Daarur-Raayah, cet. 1 tahun 1410 H/1990 M.

31. Syaikh Abdullah bin Sulaiman ad-Dumaiji, Al-Imamah al-Uzhma, Daar Thayyibah, Riyadh, cet. 2 Tahun 1409 H.

32. Dr. Abdurrahman bin Mu’alla al-Luwaihiq, Musykilatul Ghuluw fid-Diin fil-‘Ashril-Hadhir, al-Asbab wal-Atsar wal-‘Ilaj, Mu’assasah ar-Risalah, cet. 2 tahun 1420H/1999M.

33. Syaikh Salman bin Fahd al-Audah, al-Ghurabaa al-Awwalun Asbabu Ghurbatihim wa Mazhahiriha wa Kaifiyatu Muwajahatihim. Dar Ibnil Jauzi, cet. 4. tahun 1412H/1992M.

34. Dr. Shalah ash-Shawi, ast-Tsawabit wal Mutaghayyirat fii Masiratil Amal al-Islami al-Mu’ashirah. Al-Munatada al-Islami, cet. 1 tahun 1414H/1994M.

35. Dr. Shalah ash-Shawi, Jama’atul Muslimin, Mafhumuha, wa Kaifiyatu Luzumuha fii Waqi’una al-Mu’ashir. Dar ash-Shafwah, cet. 1 tahun 1413 H.

  1. Imam Majduddin Abis Sa’adat Al Mubarak bin Muhammad Atsir Al Jazari (544-606 H), An Nihayah fii Gharibil Hadits wal Atsar, dengan tahqiq Thahir Ahmad Az Zawi dan Mahmud Muhammad Ath Thanahi, Maktabah Al Ilmiyah Beirut tanpa tahun.
  2. Imam Az Zamakhsyari, Al Fa’iq fii Gharibil Hadits, Darul Fikr, cet. 3 tahun 1399 H/1979 M.
  3. Abul Fadhl Jamaluddin bin Makram bin Mandzur Al Afriki Al Mishri, Lisanul Arab, Cet. Darul Fikr Beirut.
  4. Imam Majduddin Muhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim Al Fairuz Abadi Asy Syirazi Asy Syafi’I (-817H), Al Qamush Al Muhith, Darul Kutub Al Ilmiyah Beirut. Cet.1 tahun 1995 M/ 1415 H.
  5. Imam Ahmad bin Muhammad Al Fayummi Al Muqri’i, Maktabah Lubnan Beirut, Al Mishbah Al Munir, Cet. Tahun 1987 M.
  6. Ibrahim Mushthafa dkk, Al Mu’jam Al Wasith, Al Maktabah Al Islamiyah Istambul Turki.


[1] . Lihat Syaikh Salman bin Fahd al-Audah, al-Ghurabaa al-Awwalun Asbabu Ghurbatihim wa Mazhahiriha wa Kaifiyatu Muwajahatihim, hal. 184-194 dengan berbagai penyesuaian.

[2] . Lisanul Arab, Ibnu Manzhur, maadah “Baa’a”,: 9/374.

[3] . Lisanul Arab, Ibnu Manzhur, maadah “Baa’a”,: 9/374.

[4] . An-Nihayah fii Gharibil Hadits: 1/174 dan al-Mukhtar ash-Shihhah.

[5] . Al-Mufradat fii Gharibil Qur’an, Hubungan Penguasa dengan Rakyat dalam Perspektif Sunnah, hal. 153.

[6] . Fathul Bari: 3/71.

[7] . Tafsir ath-Thabari: 1/419 dan Ibnu Katsir: 3/57.

[8] . Al-Muhalla: 10/502. lihat Hubungan Penguasa dengan Rakyat dalam Perspektif Sunnah, hal. 153.

[9] . Muqadimah Ibnu Khladun, hal. 209.

[10] . Fathul Bari: 13/203.

[11] . Hubungan Penguasa dengan Rakyat dalam Perspektif Sunnah, hal. 153. Tidak jauh berbeda apa yang dikatakan oleh Syaikh Abu Basyir, lihat dalam Shifat ath-Thaifah al-Manshurah allati yajibu an tukatstsira Sawadaha, hal. 72. Juga Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz , lihat Al-Umdah fii I’dadil Uddah: 1/142.

[12] . Lihat dalam al-Mausu’ah al-Muyassarah: 2/1000 dan Imamatul Uzhmaa, hal 220.

[13] . Jama'ah Muslimin, Dr. Shalah Shawi, hal. 121.

[14] . HR. Bukhori, Kitab Ahkam, hadits no. 7219, Bidayah Nihayah, Ibnu Katsir 6/301.

[15] . Al-Ahkam as-Sulthaniyah, hal. 7.

[16] . Minhajus Sunnah: 1/527.

[17] . Dinukil dari Ghiyatsul Umam, hal. 53-55, al-Baqalani, at-Tamhid, hal. 178-179 dan al-Baghdadi, Ushuluddin, hal. 2011. lihat Hubungan Penguasa dengan Rakyat dalam Perspektif Sunnah, hal 164-165.

[18] . Lihat Hubungan Penguasa dengan Rakyat dalam Perspektif Sunnah, hal. 165.

[19] . Dinukil dari Ar-Raddu alal Bathiniyah, Leiden 1916, kutipan dari an-Nazhariyah as-siyasah al-Islamiyah, hal. 233. Dr. Hasan Ibrahim berkata, “Abu Bakar dibaiat oleh Abu Ubaidah setelah Basyir bin Sa’ad, diikuti oleh kaum Muhajirin dan Anshar.” Baiat ini dinamakan baiat khusus, karena hanya dilakukan oleh segolongan kecil umat Islam yang hadir di balai tersebut. Adapun baiat umumj terjadi pada hari berikutnya di masjid. Pada waktu itu, Abu Bakar berada di atas mimbar dan orang-orang membaiatnya dengan baiat umum. Lihat Hubungan Penguasa dengan Rakyat dalam Perspektif Sunnah, hal. 165.

[20] . HR. Bukhori, Kitab hudud 31, Bidayah Nihayah, Siroh Ibnu Hisyam 6/440

[21] . Dinukil dari al-Wajiz fii Fiqhil Khilafah, hal. 77-78, lihat ats-Tsawabit wal Mutaghayyirat, hal. 230.

[22] . Lihat dalam Imamatul Uzhma, hal. 206-210.

[23] . HR. Muslim kitab, “al-Imarah”, bab “Hukum orang yang memecah belah persatuan kauj muslimin” no….

[24] . HR. Muslim, kitab “al-Fitan”, bab “Jika terjadi pembaiatan dua orang Khalifah” dari Abu Sa’id al-Khudri no. ……….

[25] . Ghiyatsul Umam, hal. 126.

[26] . Sahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi, An-Nawawi: 4/509.

[27] . At-Tasyri’ al-Jina’I al-Islami: 1/292.

[28] . Lisanul Arab madah al-qillah.

[29] . Mukhtar ash-Shihhah dan al-Mufradat fii Gharibil Qur’an, lihat Hubungan Penguasa dengan Rakyat dalam Perspektif Sunnah, hal. 191.

[30] . Lisanul Arab

[31] . HR. Al-Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi.

[32] . HR. Mulim no. 1851.

[33] . Lihat Hubungan Penguasa dengan Rakyat dalam Perspektif Sunnah, hal. 190.

[34] . HR Al-Bukhari, kitab “al-Ahkam”, bab “Orang yang berbaiat kmudian dia meminta pembatalan baiatnya.” No. 7209 dan terdapat juga no. 7211, 1883. lihat Fathul Bari: 15/111.

[35] . HR Ath-Thabrani dalam al-Kabir. Dalam riwayatnya ada Abdurrahman bin Ziyad bin An’am, dia adalah lemah. Akan tetapi ditsiqahkan oleh Ahmad bin Shalih. Lihat Majma’ az-Zawaid: 5/204.

[36] . Minhajus-Sunnah: 1/530 dan al-Muntaqa, hal. 58.

[37] . An-Nazhariyyat as-Siyasiyah al-Islamiyah, hal. 215.

[38] . Al-Ahkam as-Sulthaniyah, hal. 21.

[39] . Ghiyatsul Umam, hal. 233.

[40] . Tarikh ath-Thabari: 3/207.

[41] . Ushuluddin lil Baghdadi, hal. 280, al-Ahkam as-Sulthaniyah, hal. 6 dan an-Nuzhumus Siyasiyah al-Islamiyah, hal. 230.

[42] . Hubungan Penguasa dengan Rakyat dalam Perspektif Sunnah, hal. 172.

[43] . Lihat al-Ahkam as-Sulthaniyah, hal. 20 dan Minhajus Sunnah: 1/524.

[44] . HR Muslim, kitab “al-Jihad”, bab “dalam peristiwa perang Hunain”.

[45] . Minhajus Sunnah: 1/524, lihat Hubungan Penguasa dengan Rakyat dalam Perspektif Sunnah, hal. 177-178.

[46] . Ats-Tsawabit wal Mutaghayyirat, Dr. Sholah Shawy, hal. 226.

[47] . HR. Muslim 868.

[48] . HR al-Bukhari dalam kitab al-Iman bab. “Tentang sabda Nabi bahwa agama adalah nasihat”, hadits no. 58 dan Ahmad dalam al-Musnad: 4/357-358, lihat pula dalam Majma’uz-Zawaid: 6/36 dan Hayatush-Shahabah: 1/239.

[49] . HR Muslim kitab Imarah, bab. “Setelah peristiwa penakulakn Makkah, pembaiatan itu untuk Islam, jihad dan kebajikan”, hadits no. 1863, al-Bukhari, kitab Jihad, bab, “Tidak ada Hijrah setelah penaklukan Makkah”, hadits no. 3078, Kitabu al-Jihad no. 2962, 2963 dan 3078, 3079 dan Kitab al-Maghazi no. 4305, 4306, an-Nasai kitab al-Baiat, bab “al-Hijrah” dan Ahmad dalam al-Musnad: 5/71. lihat pula dalam Hayatush Shahabah: 1/240.

[50] . Lihat Hayatush Shahabah: 1/241-243.

[51] . HR. Ahmad 5/325, Siroh Ibnu Hisyam 1/443.

[52] . Lihat Hayatush Shahabah: 1/245-248.

[53] . HR. Muslim 4 / 122, Nasai 7/135, Tirmidzi, Ibnu Majah 2/958.

[54] . Lihat Hayatush Shahabah: 1/244.

[55] . HR. Bukhori, Kitab Jihad hadits no. 2834 dan Kitab al-Ahkam, bab Bagaimana seorang imam membaiat manusia, hadits no. 7201. Dan termasuk dalam kategori ini adalah riwayat dari Anas, Ya’la bin Munyah, Basyir bin al-Khashashiyah, lihat Hayatush-Shahabah: 1/249.

[56] . Syarah an-Nawawi: 4/539.

[57] . Kitab al-Maghozi no. 4169, Kitab al-Jihad, bab Baiat dalam Perang, Tidak lari darinya no. 2960 dan Kitab al-Ahkam no. 7206 dan Muslim 1860.

[58] . HR. Bukhori, Kitab al-Jihad no. 2959 dan Kitab al-Maghazi no. 4167, Muslim 3/1483.

[59] . Shahih Muslim no. 1856 dan Sunan ad-Darimi kitab as-Sair bab. Tentang Pembaiatan Nabi.

[60] . Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi: 13/3.

[61] . HR al-Bukhari dalam kitab al-Jihad, bab. Baiat dalam Peperangan, hadits no. 2958.

[62] . Lihat Tahdzbut-Tahdzi: 4/251, al-Isti’ab: 1/663. menurut Ibnu Hajar, dia meninggal di Kufah pada tahun 38 H dan Ali menshalatkan jenazahnya dengan enam takbir.

[63] . Al Kamil Fit Tarikh Ibnu Atsir: 2/413.

[64] . Kanzul Umal 2/323.

[65] . HR. Ahmad 4/358, Nasai 7/133.

[66] . HR al-Bukhari dalam kitab al-Mazhalim, bab merampas tanpa izin pemiliknya, hadits no. 2474.

[67] . HR an-Nasai dalam kitab “baiat”, bab. Bebaiat untuk memisahkan diri dari kaum musyrik dengan dua sanad lemah dan kuat dan Ahmad dalam al-Musnad: 4/358 dengan lafadz yang berbeda.

[68] . HR Ahmad dalam al-Musnad: 6/217, para perawi haditsnya adalah tsiqah.

[69] . HR Malik dalam al-Muwaththa’, kitab “Baiat”, bab. “Yang menerangkan Baiat”, no. 1842, at-Tirmidzi, kitab “as-Sair ‘an Rasulillah j”, bab “Yang menerangkan tentang bbaiatnya orang-orang perempuan no. 1597, an-Nasai kitab “Baiat” bab “Baiatnya kaum Wanita” no. 4192, Ibnu Majah no. 2874 dan Ahmad no. 27076, menrut Abu Isa hadits ini hasan shahih.

[70] . HR an-Nasai kitab “Baiat” bab “Berbaiat untuk Berjihad”: 7/128 dan Ahmad dalam al-Musnad: 5/316. Al-Baihaqi dalamas-Sunan al-Kubra, kitab “Qitalu ahlil Baghyi”, bab “Baiatun Nisa”,: 8/146.

[71] . HR al-Bukhari kitab “Al-Ahkam” bab, “Baiatun Nisa” hadits no. 7214 dan Kitab asy-Syurut no. 2713, Muslim kitab al-Imarah bab “Baiatun Nisa” no. 1866, Ibnu Majah kitabul Jihad, bab “Baiatun Nisa”, no. 2875 dan Ahmad dalam al-Musnad: 6/365.

[72] . HR al-Bukhari, kitab “at-Tafsir”, bab “Idza jaa’akumul Mukminatu mihajiratin famtahinuu hunna”, no. 4891.

[73] . Demikian dalam Majma’uz Zawaid: 6/37.

[74] . Muslim kitab “Mutsqat”, bab “Diperbolehkannya ,menjual binatang dengan binatang”, at-Tirmidzi kitab “as-sair”, bab “baiatul abdi”, Ibnu Majah kitabul Jihad, bab “baiat”. An-Nawawi berkata, “Sabda j “bi’nihi (juallah dia kepadaku)” mengandung arti bahwa tuan budak tersebut adalah seorang muslim, dan kemuadian beliaumembeli budak itu dengan dua orang budak hitam. Kedua budak hitam itu adalah muslim. Dan tidak diperbolehkan menjual budak muslim kepada orang kafir. Syafi’I dan jumhur ulama berpendapat, boleh menjual satu orang budak dengan harga dua orang budak karena adanya perbedaan antara budak yang dijual dengan budak yang digunakan untuk membelinya.

[75] . Hubungan Penguasa dengan Rakyat dalam Perspektif Sunnah, hal. 161.

[76] . HR Muslim kitab “Salam”, bab “Menjauhi orang yang tekena penyakit kusta”, an-Nasai, kitab “al-Baiat” bab “Baiatnya orang yang sakit kusta”, Ahmad dalam al-Musnad: 4/389-390.

[77] . Hubungan Penguasa dengan Rakyat dalam Perspektif Sunnah, hal. 161.

[78] . Hubungan Penguasa dengan Rakyat dalam Perspektif Sunnah, hal. 162.

[79] . Hubungan Penguasa dengan Rakyat dalam Perspektif Sunnah, hal. 163.

[80] . Lihat dalam al-Mausu’ah al-Muyassarah: 2/1004.

[81] . Imamatul Uzhma, hal. 212.

[82] . Imamatul Uzhma, hal. 219.

[83] . Lihat Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi: 13/11.

[84] . HR. Al-Bukhari, Tafsir surat Al Mumtahanah, hadits no. 4891 dan Ibnu Majah 2875.

[85] . HR. Muslim 2231, Ahmad 4/389, Nasai 7/150, Ibnu Majah 2/1172.

[86] . Al-Bidayah Wa an-Nihayah , Ibnu Katsir 3/84.

[87] . HR Al-Bukhari dalam kitabul Ahkam no. 7207 dan Malik no. 1843.

[88] . HR. Ahmad, Abu Daud, Al Hakim.

[89] . Fie Afaqi Ta'alim, Said Hawa 85, al Ghullu fie Dien 235.

[90] . Jama'atul Muslimin , Dr. Sholah Showi, hal. 125 dan al-Imamatul Uzhma, Ad Dumaiji, hal. 235.

[91] . Al Quranul Adhim, Ibnu Katsir, tafsir QS. an-Nahl: 92.

[92] . Majmu’ Fatawa: 28 /19-20.

[93] . Manhajus Sunnah fie Al Alaqoh bainal Hakim wal Mahkum, Dr. Yahya Ismail , hal. 203.

[94] . Azzawajir, Ibnu Hajar Al Haitsami 140-142.

24 . Manhajus Sunnah, Dr. Yahya Ismail 203.

[95] . Lihat dalam al-Mausu’ah al-Muyassarah: 2/1004-1005 dan al-Umdah fii I’dadil Uddah: 1/145.

[96] . Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 7.

[97] . Imam Al-Mawardi menyebutkan sepuluh kewajiban, lihat Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 15-17.

[98] . Lihat dalam Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 20-23.

[99] . Lihat al-Umdah fii I’dadil Uddah: 1/144.

[100] . Al-Isti’aab fii Ma’rifatil Ashhab: 1/151-153. lihat Hubungan Penguasa dengan Rakyat dalam Perspektif Sunnah, hal. 213.

Tidak ada komentar: